Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari rumah, ke
tempat penyimpanan motor di bilangan cawang, uki, walau sering
terlambat, kali ini saya datang labih awal ketempat menunggu bis antar
jemput yang membawa saya ke kantor, saya menyukai naik bus jemputan
karena lelah berkendara dari depok-cikarang. Tidak tahan kemacetan ibu
kota. Seperti biasa saya duduk bersama rekan rekan sambil menunggu
jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang bocah
lelaki yang seperti biasa menawarkan Koran kepada semua penduduk
shelter. ” Koran, Koran, Kompas, Media, tempo, republika, warta kota”
begitu teriak bocah laki-laki tersebut menawarkan Koran kepada kami.
“Koran bang” dia menawari ku untuk membeli Koran. “seperti biasa kompas
satu” kataku meminta Koran yang biasa kubaca setiap pagi. Tangan
mungilnya dengan cekatan memilih Koran yang kuminta diantara tumpukan
Koran dagangannya. ” ini bang Koran kompasnya” memberi Koran yang aku
minta kepadanya, “nih ada kembaliaanya engga” kataku sambil menyodorkan
uang Rp 50.000, kepadanya. “beres bang, pasti ada” segera dikeluarkan
kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor, “wah pagi-pagi uangnya dah
banyak ya” kataku kepada bocah tersebut. “Allhamdulilah bang, rejeki
saya lagi lancar” katanya sambil tersenyum senang.
Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran kepada para penghuni
shelter lainnya. Saat ini pukul 05.20, masih terlalu lama jemputan ku
datang, maka saya menyempatkan membaca koran kompas yang tadi saya beli
pada bocah tukang Koran tersebut. Tanpa sadar saya memperhatikan betapa
gigih seorang bocah tukang Koran tersbut mencari uang, dengan menawarkan
daganganya kepada semua orang yang datang dan pergi silih
beranti.Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam
usia beliaya harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai
pekerja keras. ” Koran, mba ada tabloid nova, ada berita selebritisnya
nih mba, atau ini tabloid bintang, ada kabar artis bercerai” katanya
bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan Koran kepada
seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli
satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut. Sambil memperhatikan
terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan
memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria
yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat
sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang
ditawarinya tidak membeli korannya.
Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia
terduduk disampingku, “kamu engga sekolah dik” tanyaku kepadanya “engga
bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi” katanya. “engga ada biaya
dik’ tanyaku menyelidik, “Bukan bang, walau saya tukang Koran saya punya
cita-cita” jawabnya, “maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa
mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah” kataku menjawab. “Aku
sering baca Koran bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan
sarjana tidak bekerja bang, alias nganggur. Mending saya walau sekolah
tidak tinggi saya punya penghasilan bang” katanya berusaha menjelaskan
kepadaku. “abang ku bang, tidak sekolah bisa buka agen Koran penghasilan
sebulannya bisa 3-4 juta bang, saya baca di Koran gaji pegawai honorer
Cuma 700ribu, jadi buat apa saya sekolah bang” tanyanya kepadaku Saya
mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil
tersebut pemikiran yang tajam, dan sebuah keritik yang dalam buat saya
yang seorang sarjana.
Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, UMR kota bekasi
saja +/-900rb untuk golongan smu. Saya pun tersenyum mendengar jawaban
anak tersebut, kemudian bus jenputan saya pun tiba dan saya meninggalkan
bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita
sekolah, menjadi sarjana.? Karena banyak sarjana sekarang yang begitu
lepas kerja mengaggur, tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena
belum bisa bekerja yang melanjutkan S2 dengan alas an ingin mengisi
waktu luang dan menambah nilai jual dirinya. Tapi pernyataan bocah
penjual Koran tersebut menyadarkan saya, tentang rejeki, dan tujuan dari
bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil
tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai
suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanya seorang buruh.
Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa
menjadi majikan untuk dirinya sendri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah
penjual Koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang bocah
kecil yang setiap hari kutemui.(EA) “Rizky Tuhan sungguh tidak terbatas,
tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapain.”
kisah ini aku kutip dari kisah-motivasi.com
No comments:
Post a Comment